Feature


Tanggal Post: 16 Feb 2024

Selama ini para dokter dan praktisi kesehatan memberikan terapi dan obat-obatan yang sama untuk setiap orang dengan gejala penyakit yang sama. Padahal, terapi dan obat-obatan tersebut belum tentu akan memberikan efek yang sama bagi setiap orang. Mengapa? Ini karena setiap orang mempunyai kode genetik yang berbeda-beda. Dengan mengetahui informasi genetik tersebut, para praktisi kesehatan bisa memberikan terapi dan pengobatan yang lebih presisi (precision medicine) terhadap seseorang dengan gejala penyakit tertentu.

Materi itulah yang dibahas dalam seminar hybrid Menuju Precision Medicine Melalui Pemetaan Genom: Pro dan Kontra di Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran, President University (Presuniv). Seminar diselenggarakan Senin, 12 Februari 2024 di President Lounge, Menara Batavia, Jl. Mas Mansyur, Jakarta. Para pembicara dalam seminar ini adalah Prof. dr. Amin Soebandrio W. Kusumo, Ph.D., Sp.MK (K), Guru Besar Mikrobiologi Klinik dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, dan  Dr. dr. Ivan Rizal Sini, FRANZCOG, GDRM, MMIS, Sp.OG yang juga Ketua Umum Asosiasi Genomik Indonesia.

Dekan Fakultas Kedokteran, Presuniv, Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, Sp.A(K), M.Kes., menjadi moderator dalam seminar tersebut. Prof. Budi juga menyampaikan paparan soal etika terkait seminar tersebut. Seminar pada siang hari itu juga dihadiri pula oleh DR SD Darmono, Chairman Jababeka yang juga pendiri President University.  

 

Atasi Kanker

Upaya merekam informasi genetik tersebut sebetulnya tengah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan melalui program Biomedical & Genome Science Initiative atau BGSi. BGSi adalah upaya pemerintah untuk mengetahui profil genom atau informasi genetik dari setiap orang. Dengan adanya informasi genetik tersebut, para dokter dan praktisi kesehatan bisa mendeteksi gejala penyakit tertentu yang dialami oleh seseorang, sehingga bisa memberikan terapi dan pengobatan secara lebih akurat.

Program BGSi ini membuka babak baru dan sekaligus menjadi lompatan penting dalam dunia kesehatan Indonesia dan dunia. Banyak sekali manfaat yang bisa dipetik jika kita berhasil mengembangkan BGSi. Selain terapi dan pengobatan yang lebih presisi, manfaat lainnya adalah berupa penghematan biaya kesehatan. Ini karena masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan biaya-biaya untuk terapi atau mengonsumsi obat-obatan yang sebetulnya tidak diperlukan.

Dalam paparannya, Prof. Amin membahas pentingnya informasi genetik dalam terapi dan pengobatan kanker. Dengan adanya informasi genetik tersebut, para dokter bisa mengidentifikasi adanya gen-gen tertentu, atau adanya gen yang bermutasi, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan kanker. Dengan adanya informasi genetik tersebut, para dokter dapat memberikan terapi dan pengobatan kanker secara lebih presisi. Terapi dan pengobatan yang lebih presisi ini  tentu bisa meningkatkan efektivitas obat dan mengurangi dampak sampingnya. Hasilnya tentu akan lebih baik bagi para penderita kanker. Itu sebabnya Prof. Amin menegaskan bahwa ketersediaan informasi genetik ini akan merevolusi terapi dan pengobatan kanker. 

Terapi dan pengobatan yang lebih presisi ini menjadi sangat penting karena, menurut data WHO, kanker masih menempati urutan pertama pembunuh manusia di dunia. Masih menurut WHO, tiga kanker yang paling mematikan adalah kanker paru-paru (1,8 juta kematian atau 18,7% dari total kasus kematian akibat kanker), kanker kolokteral (900.000 atau 9,3%), dan kanker hati (760.000 atau 7,8%).

Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mendapatkan terapi dan pengobatan yang lebih presisi, di antaranya, penilaian risiko yang bersifat personal, upaya deteksi dan pencegahan dini, rencana pengobatan yang disesuaikan berdasarkan susunan genetik individu, mengurangi efek samping pengobatan, meningkatkan khasiat pengobatan, tindak lanjut perawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan, yang semuanya berdampak pada peningkatan hasil pengobatan dan kualitas hidup pasien.

 

Pasar Bakal Melesat

Sementara, Ivan Rizal Gini memaparkan potensi industri genomik yang saat ini masih tumbuh relatif lambat. Selama tahun 2022 hingga 2023, mengutip data National Human Genom Research Institute (NHGRI), pasar genomik naik dari US$44,6 miliar menjadi US$46,2 miliar, atau hanya tumbuh 3,6%. Meski begitu pada tahun 2028 pasar genomik diperkirakan akan melesat menjadi US$83,1 miliar (Rp1,29 biliun), atau tumbuh rata-rata 12,4% per tahun.

Selain membahas soal industri, Ivan juga memaparkan beberapa isu tentang pentingnya informasi genetik. Misalnya, soal pentingnya Polygenic Risk Scoring (PRS). PRS adalah cara agar masyarakat dapat mengetahui risiko terkena suatu penyakit tertentu, atau beberapa penyakit sekaligus, berdasarkan akumulasi perubahan yang terkait dengan penyakit tersebut. Perubahan tersebut bukan hanya perubahan pada salah satu atau beberapa gen yang mereka miliki, tetapi juga perubahan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Misalnya, kebiasaan merokok, gaya hidup, makanan, stress dan beberapa lainnya. 

Dalam seminar ini Ivan juga membahas pentingnya uji genetik untuk menanggulangi penyakit-penyakit pranatal dan kesehatan reproduksi, termasuk peluangnya untuk membuat usia menjadi semakin panjang. (JB Susetiyo, tim PR. Foto: JB Susetiyo).