Feature


Tanggal Post: 12 Jun 2023

Semuanya berawal di tahun 2020. Cerita Jhanghiz Syahrivar pada tahun itu untuk pertama kalinya dia melihat ada Autonomous Vehicle (AV) atau mobil swakemudi. Jhanghiz adalah Associate Professor Pemasaran dan Koordinator Program Pemasaran Digital dan Kontemporer, Program Studi Manajemen, Fakulas Bisnis, President University (Presuniv).

AV membuat Jhanghiz terpikat. “Bagi saya, mengemudi adalah kegiatan yang mengasyikkan, karena kita seakan-akan memegang kendali atas hidup kita,” tuturnya. Lalu, muncullah AV yang, menurut Jhanghiz, membuat kita seakan lepas kendali. Kata dia, “Itu jadi sangat bertolak belakang. Fenomena itulah yang mendorong saya untuk membuat penelitian.”

Mulanya penelitian ini merupakan tugas wajib dari salah satu mata kuliah yang diambilnya ketika menyelesaikan program doktor bidang bisnis dan manajemen di Corvinus University of Budapest, Hungaria. Ketika Jhanghiz mengajukan proposal penelitian yang bertopik Surrendering Personal Control to Automation: Appalling or Appealing?, pihak kampus tertarik.

Bahkan, bukan hanya kampus, tetapi Pemerintah Hungaria pun tertarik. Pada tahun 2020, Pemerintah Hungaria kebetulan sedang gencar mengembangkan AV. Berdasarkan data yang dirilis oleh kantor konsultan manajemen internasional Klynveld Peat Marwick Goerdeler atau KPMG, sampai tahun itu Hungaria masih menempati peringkat ke-25 dalam daftar Index AV dunia.

 

AV: Mengerikan, atau Menarik

AV, juga dikenal sebagai mobil self-driving atau mobil tanpa pengemudi (swakemudi), adalah kendaraan yang mampu menavigasi dan beroperasi tanpa campur tangan manusia secara langsung. Kendaraan ini menggunakan kombinasi sensor canggih, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI), dan sistem komunikasi yang mampu memahami kondisi lingkungan, membuat keputusan, dan mengontrol pergerakan kendaraan.

Beberapa komponen yang ada di AV, seperti sensor, radar, lidar, kamera, dan peranti Global Positioning System (GPS) berperan mengumpulkan data tentang sekelilingnya. Data ini kemudian diproses oleh sistem komputer onboard yang menganalisis dan menginterpretasikan informasi, sehingga memungkinkan kendaraan mendeteksi dan mengenali pejalan kaki, rambu jalan, kendaraan dan berbagai objek lainnya.

Dalam penelitiannya ini, papar Jhanghiz, ada dua dimensi kontrol pribadi, yakni keinginan untuk mengontrol dan lokus kontrol pengemudi, yang dihipotesiskan dapat mempengaruhi sikap terhadap AV. Hubungan tersebut dimoderatori oleh jarak kekuasaan dan faktor budaya yang terkait dengan rasa kontrol seseorang.

Hipotesisnya diuji dengan menggunakan pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) dan diolah dengan software AMOS atau Analysis of Moment Structure. Penelitian ini melibatkan 457 responden dari dua kelompok sampel, yakni pengemudi yang ada di Hungaria dan Indonesia. Datanya dikumpulkan melalui kuesioner online. Hasilnya kemudian dibandingkan

Penelitian Jhanghiz menghabiskan waktu selama satu tahun. Hasilnya ia tuangkan dalam makalah yang berjudul Surrendering Personal Control to Automation: Appalling or Appealing?. Makalah itu kemudia ia publikasikan dalam jurnal internasional Transportation Research Part F yang terindeks Scopus. Ini adalah jurnal transportasi yang berfokus pada ilmu psikologi.

 

Raih Penghargaan Tertinggi

Penelitian Jhanghiz tersebut bahkan mendapat penghargaan dari Publication Award of Excellence by the Management and Organization Subcommittee of the Economics Committee of the Hungarian Academy of Sciences, Section IX. Ini adalah penghargaan akademik tertinggi di Hungaria. Penghargaan ini membuat Jhanghiz diakui sebagai “doktor besar” di Hungaria.

Jhanghiz memaparkan, hasil risetnya menunjukan bahwa secara parsial menegaskan peran jarak kekuasaan sebagai variabel moderasi dalam hubungan antara keinginan untuk mengontrol dan sikap terhadap AV. Urai Jhanghiz, “Orang yang memiliki keinginan untuk mengendalikan kemungkinan memiliki sikap negatif terhadap AV. Locus of control internal memiliki kepercayaan untuk mengontrol takdirnya, namun untuk locus of control external berpikir bahwa ada kekuatan lain di luar sana yang berperan di kehidupan.”

Di samping itu, salah satu faktor pendukung perbedaan sikap terhadap AV di pengaruhi oleh power distance (batasan terhadap orang yang memiliki kekuatan dan yang tidak). Fenomena ini umumnya terjadi di negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Seseorang yang memiliki high power distance cenderung memberikan respon semakin negatif terhadap AV, dan sebaliknya.

Menurut Jhanghiz, penelitian ini secara langsung berdampak terhadap pengembangan teknologi transportasi. Itu sebabnya Kementerian Perhubungan RI dan Jababeka meminta Presuniv menyelenggarakan webinar tentang hal ini.

Kini, muncul pula penelitian tentang AV terhadap industri pariwisata. Hasilnya, variabel AV mendapat respon positif. “Dengan adanya self driving car, wisatawan tidak perlu lelah mengemudi. Mereka bebas melihat pemandangan, terutama di tempat-tempat yang belum di kenali,” papar Jhanghiz.

Ketika ditanya harapannya setelah penelitiannya terbit, ungkap Jhanghiz, “AV merupakan investasi di masa depan. The future is here, but not distributed equally. Jadi, dibutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam bidang teknologi, infrastruktur, serta hukum yang mengatur AV.”