Actual

What's happening in PresUniv


Published: 25 Sep 2019

The Philippine foreign policy is based on three basic pillars comprises of national security, economic relations, and protection of overseas workers. These three pillars help to provide a solid foundation in maintaining amicable relations between China and the Philippines. However, the escalating territorial claims in the South China Sea in 2009 changed the relations between the two states. This condition has contributed toward a major policy change as President Rodrigo Duterte took on the Philippine presidency. President Duterte’s approach to rebalancing the bilateral relationship with China displayed a major change amidst the continuity to Philippine foreign policy that he tried to maintain particularly regarding its alliance with the US considering how the Sino-Philippine relations had always been warm prior to Aquino’s administration.

This is the highlight of Prof. Herman Joseph S. Kraft, Associate Professor from the Department of Political Science, the University of the Philippines Diliman during a general lecture with the theme "The Philippine Foreign Policy under President Rodrigo Duterte: Change and Continuity," that was held recently at President University, Jababeka, Indonesia.

Philippine foreign policy under Duterte displays more continuity than change. However, the change is so significant that Philippine rapprochement to China garners more media and academic attention, explained Prof. Kraft. For example, the Philippines under Duterte’s presidency would rather halt the ruling of the Permanent Court of Arbitration pertaining to its disapproval on China’s claim on the disputed territory in order to establish economic relations with China.

"The rationale behind Duterte’s bilateral approach to China can be explained through its economic needs. The Philippines needs China. An example will be the "Build, Build, Build" program that has been invented by Duterte as the main motor of the Philippine economy. China promised to provide a loan of USD 7.34 B to support the program. Plus, the flow of funds from China will be more assured, if the Philippines manages to secure its participation in the Belt and Road initiative," explained Prof. Kraft.

This move can also be seen as the extension of the Philippines’ local policy pertaining to its economic development that currently prioritizes the importance of infrastructure development as one of the nation’s top priorities.

During the discussion, the lecturer of International Relations from President University Gibran Mahesa Drajat added that The Philippines’ concept of rebalancing its relations with the two great powers the US and China are not compatible with the concept of ASEAN Centrality. In this case, the Philippines needs to be decisive whether to abide by ASEAN Centrality or to align its interests with China.

“The change within Philippine foreign policy under Duterte’s presidency displays an attempt of rebalancing Sino-Philippine relations, bringing it back to a certain level of normalcy,” emphasized Prof. Kraft. Gibran added that the reinstatement of ASEAN Centrality might become an alternative to how the Philippines would like to settle this territorial issue, focusing on a multilateral approach rather than a transactional one. (CJ/APW)


Kuliah Umum: Diskusi Kebijakan Luar Negeri Filipina

Kebijakan luar negeri Filipina berdiri di atas tiga pilar dasar yang terdiri dari keamanan nasional, hubungan ekonomi, dan perlindungan pekerja asing. Tiga pilar ini membantu memberikan fondasi yang kuat dalam memelihara hubungan persahabatan antara Tiongkok dan Filipina. Namun, klaim teritorial yang meningkat di Laut Cina Selatan pada tahun 2009 mengubah arah hubungan antara kedua negara. Kondisi ini berakibat pada perubahan arah kebijakan luar negeri Filipina ketika Presiden Rodrigo Duterte menjabat presiden. Pendekatan Presiden Duterte untuk menyeimbangkan kembali hubungan bilateral dengan Tiongkok menunjukkan perubahan besar di tengah kesinambungan kebijakan luar negeri Filipina yang ia coba pertahankan khususnya mengenai aliansinya dengan AS mengingat bagaimana hubungan Tiongkok-Filipina selalu terjalin hangat sebelum memasuki pemerintahan Aquino.

Ini adalah sorotan utama dari Prof. Herman Joseph S. Kraft, Associate Professor dari Departemen Ilmu Politik, Universitas Filipina Diliman selama menyampaikan kuliah umum dengan tema "Kebijakan Luar Negeri Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte: Perubahan dan Kesinambungan," yang baru saja diselenggarakan di President University, Jababeka, Indonesia.

Kebijakan luar negeri Filipina di bawah Duterte menampilkan lebih banyak kesinambungan daripada perubahan. Namun, perubahan itu begitu signifikan sehingga upaya pemulihan hubungan Filipina ke Tiongkok mendapatkan lebih banyak perhatian media dan akademisi global, jelas Prof. Kraft. Sebagai contoh, Filipina di bawah kepresidenan Duterte lebih memilih untuk menunda penerapan hasil putusan Pengadilan Arbitrase Permanen sehubungan dengan penolakan terhadap klaim Tiongkok atas wilayah yang disengketakan dengan tujuan membangun hubungan ekonomi dengan Tiongkok.

"Alasan di balik pendekatan bilateral Duterte ke Tiongkok dapat dijelaskan melalui kebutuhan ekonomi. Filipina membutuhkan Tiongkok. Contohnya adalah program "Build, Build, Build" yang telah diinisiasi oleh Duterte sebagai motor utama perekonomian Filipina. Tiongkok berjanji untuk memberikan pinjaman sebesar USD 7,34 milyar untuk mendukung program tersebut. Ditambah lagi, aliran dana dari Tiongkok akan lebih terjamin, jika Filipina berhasil mengamankan partisipasinya dalam inisiatif Belt and Road," jelas Prof. Kraft.

Langkah ini juga dapat dilihat sebagai perpanjangan dari kebijakan dalam negeri Filipina terkait dengan pembangunan ekonominya yang saat ini mengutamakan pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama negara.

Selama diskusi, dosen Hubungan Internasional dari President University Gibran Mahesa Drajat menambahkan bahwa konsep pendekatan yang digunakan Filipina untuk menyeimbangkan kembali hubungannya dengan dua kekuatan besar AS dan Tiongkok tidak kompatibel dengan konsep Sentralitas ASEAN. Dalam hal ini, Filipina perlu menentukan apakah akan mematuhi Sentralitas ASEAN atau untuk menyelaraskan kepentingannya dengan Tiongkok.

"Perubahan dalam kebijakan luar negeri Filipina di bawah kepresidenan Duterte menampilkan upaya menyeimbangkan kembali hubungan Tiongkok-Filipina, membawanya kembali ke tingkat normal tertentu," tegas Prof. Kraft. Gibran menambahkan bahwa pemberlakuan kembali Sentralitas ASEAN dapat menjadi alternatif untuk bagaimana Filipina ingin menyelesaikan masalah teritorial ini, dengan fokus pada pendekatan multilateral daripada pendekatan transaksional. (CJ/APW)

 

A version of this article appears online on 25 September 2019 on the News section of President University official website with the headline: General Lecture: Discussing the Philippine Foreign Policy.