Profil


Tanggal Post: 05 Jul 2021

Abdul Wahid Maktub
Staf Khusus Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (2015-2021)
(Bagian ke-3 dari 3 Tulisan)
 

KEBERAGAMAN HARUS MENJADI BERKAH

Usai menuntaskan tugasnya sebagai staf khusus Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Abdul Wahid Maktub mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Ia menjadi penasehat untuk President University (PresUniv). Gus Wahid, begitu ia disapa, melihat pendidikan di Indonesia perlu melakukan lompatan untuk mengejar ketertinggalannya. Itu membuat dirinya merasa perlu terjun di dunia pendidikan. Untuk mengenal lebih jauh sosok Gus Wahid, tim Public Relation menemuinya untuk sebuah wawancara. Petikannya.

 

Anda bercerita, karena berada di lingkungan yang lebih heterogen, Islam di Indonesia menjadi lebih maju dibandingkan dengan Islam di negara-negara Timur Tengah yang relatif lebih homogen.

Saya ini sering ikut kuliah di King Abdulaziz University di Jeddah. Saat menjadi Duta Besar di Qatar, saya juga diam-diam ikut kuliah di Qatar University. Di sana saya banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan para professor. Saya lalu menyampaikan pemikiran Gus Dur tentang banyaknya misinterpretation dan misimplementation tentang Islam. Penafsirannya salah, pengamalannya juga salah. Itu karena Islam dipahami secara parsial dan dangkal. Akibatnya, saya pakai analogi nasi goreng, kalau masaknya tidak matang, ya membuat sakit perut.

Islam, sebagaimana agama lainnya juga, esensinya adalah perdamaian. Jadi, umat muslim itu mestinya membawa aman dan membuat aman. Namun, sekarang Islam justru banyak dicederai oleh umat Islam itu sendiri. Ada aksi terorisme, fundamentalisme, terlihat garang, radikal. Nah, Gus Dur mencoba meluruskan hal ini. Islam itu bukan hanya untuk orang Islam, tetapi untuk semua. Rahmatan lil alamin. Islam itu for all mankind. Untuk seluruh umat manusia. Jadi kalau ada orang Islam yang egois, tidak menghormati orang lain, itu salah.

Lalu, di Islam itu tidak ada mengajarkan dengan cara paksa. Kalau Tuhan saja tidak pernah memaksa, apalagi kita. Tidak boleh. Perang itu dilarang.  Perang baru boleh dilakukan saat kita diperangi. Jadi sifatnya defensif, bukan ofensif. Ini yang banyak disalahpahami, terlebih bila ada politisasi. Orang-orang yang sebetulnya memiliki kepentingan pribadi, tetapi membungkusnya atas nama kepentingan agama. Saya juga menyampaikan pemikiran Gus Dur tentang demokrasi, kerukunan, dan keberagaman. Harusnya keberagaman itu menjadi berkah, bukan musibah. Justru karena ada keberagaman kita bisa belajar dari orang lain.

Gus Dur melihat banyak ajaran agama yang mengalami distorsi karena ilmunya yang masih rendah. Fungsi agama bukan sebagai pemecah belah, tetapi justru pemersatu. Jadi, agama itu harus memberikan kedamaian, keamanan. Perang adalah cara terakhir untuk mengembalikan kedamaian. Itulah pemikiran Gus Dur. Namun, karena banyak orang yang kurang membaca, kurang bergaul, sehingga agama menjadi penjara yang membelengu serta membuat kita tidak punya kebebasan dan kreativitas,

 

Boleh tahu reaksi kalangan akademis di King Abdulaziz University dan di Qatar University ketika Anda menyampaikan pandangan Gus Dur?

Mereka kaget. Saya optimis bahwa Islam bisa menjadi pusat pemikiran keagamaan yang sifatnya universal. Bukan hanya monolitik untuk bangsa tertentu. Sebab Islam yang dipahami Gus Dur adalah Islam untuk siapapun.

Masih banyak masyarakat kita yang memahami Islam dengan cara-cara yang remeh dan menghabiskan waktu. Misalnya, masalah baju, budaya, dan sebagainya, yang sebenarnya bukan hal pokok. Sebab yang pokok itu adalah Islam untuk kemanusiaan. Islam for humanity. Bagaimana kita menghormati orang lain, menolong orang lain, mencintai orang lain, bekerja sama untuk hal-hal yang substantif.  Ini yang justru sering diabaikan.

Kita harus menuhankan Tuhan yang sebenarnya, karena masih banyak yang menuhankan bukan Tuhan. Mereka menuhankan dirinya sendiri, pendapatnya sendiri, main mutlak-mutlakkan. Gus Dur mengajak kita memahami bahwa selain Tuhan, tidak ada yang mutlak. Semuanya relatif. Kalau kita semua paham akan hal ini, orang akan menjadi low profile, tidak arogan. Dia mau mendengarkan orang lain, tapi juga punya keberanian untuk menyampaikan pandangannya. Jadi ada keseimbangan antara human rights dengan human obligation. Sekarang ini kita banyak menuntut human rights, tetapi lupa human obligation.

 

Sebagai staf khusus Menristek Dikti, bagaimana Anda melihat tantangan Indonesia di bidang pendidikan?

Indonesia punya tantangan yang berat, tetapi kita harus bisa memberi jawaban yang tepat. Kita harus melompat untuk mengejar ketertinggalan. Pertama, dari sisi kualitas.  Kita tidak bisa mengklaim hebat dan maju. Itu menurut siapa? Maka, kita perlu membuka diri dengan berbagai standar dunia. Kalau menyebut diri world class university, harus diukur. Misalnya, berapa banyak publikasi internasionalnya, berapa banyak patennya, berapa banyak mahasiswa internasionalnya, berapa banyak profesornya yang kelas dunia.

 

Gus Wahid memberikan kuliah umum.
Sumber: youtube.com.

 

Kedua, akses. Kita perlu memberikan afirmasi, pemihakan. Misalnya, berikan beasiswa lebih banyak untuk mahasiswa dari luar Jawa. Ini agar akses terhadap pendidikan menjadi lebih merata.

Ketiga, relevansi. Jaman itu terus berubah. Mungkin kalau dulu cara-cara yang lama masih cocok, tetapi sekarang belum tentu. Perlu aktualisasi. Ubah kurikulum agar perguruan tinggi bisa memberikan kontribusi yang nyata.

Jadi perlu kombinasi. Bukan hanya kemampuan akademik, tapi juga entrepreneurship agar siswa bisa mandiri. Perguruan tinggi perlu berkolaborasi dengan praktisi, sehingga mampu memberikan warna terhadap industrialisasi. Apa yang dihasilkan perguruan tinggi bisa match dengan kebutuhan industri dan masyarakat.

Perguruan tinggi juga harus membuka diri. Jika dulu ingin menjadi dosen harus dari jalur tertentu, sekarang perlu lebih terbuka. Misalnya, jalur praktisi. Kampus tak hanya mengajarkan kemampuan akademik, tetapi juga vokasi, sehingga memberikan dampak pada kehidupan sehari-hari. Ada kolaborasi antara industri, universitas dan pemerintah, sehingga bisa saling memberdayakan. Muncul mutual empowerment, mutual elightment.  Saling mencerahkan dan memperkaya.

Selama ini ada gap antara yang dipelajari di kampus dengan dunia praktek. Semua punya dunia sendiri-sendiri. Nah, dengan kolaborasi bisa link and match, saling terkoneksi, sehingga semuanya bisa saling mendukung satu sama lain.

 

Pendidikan itu instrumen paling penting untuk mengentaskan kemiskinan. Jadi, akses pendidikan harus dibuka seluas luasnya. Pendapat Anda?

Itu sebabnya pendidikan harus menjadi tanggung jawab semua, bukan hanya pemerintah. Pendidikan itu tanggung jawab keluarga, orang tua, masyarakat, partai politik, siapa saja. Dulu untuk bisa menjadi world class university, seperti Harvard, Stanford, Cambridge, butuh waktu ratusan tahun. Namun, perguruan tinggi di Singapura dalam waktu lima puluh tahun sudah bisa membayang-bayangi perguruan tinggi ternama tersebut. Kok bisa?

Pertama, mereka punya visi.  Jadi, di sini pentingnya visi. Harus jelas dan mudah dipahami oleh semua stakeholders. Bukan hanya dipahami oleh dosen, tetapi juga masyarakat dan pemerintah. Kita harus memiliki visi yang sama.

Kedua, clarity. Harus ada kejelasan dan pemahaman. Selama ini pendidikan kita banyak menghapal, tapi belum menghayati dan dipahami, sehingga tidak menimbulkan aksi. Geraknya berhenti di teori, bukan praktik. Ilmunya tidak bisa diterapkan.

Ketiga, agility, ketangkasan. Kita butuh improvement, terutama terkait teknologi, termasuk teknologi digital. Kita harus cepat beradaptasi. Ke depan itu yang bertahan bukan mereka yang besar dan kuat, tetapi yang adaptif dan responsif terhadap perubahan. Bagaimana supaya kita menjadi adaptif? Harus mengikuti perkembangan teknologi, sehingga bisa memakainya untuk membuat kerja kita menjadi lebih efektif dan efesien.

Keempat, kita harus memiliki kecerdasan baru, yaitu kemampuan berkolaborasi. Ini bukan eranya lagi single fighter. Mereka yang tumbuh cepat sekarang ini karena melakukan sinergi dan kolaborasi. Lewat kerja sama, kita akan belajar multitasking.  Ini penting. Mengapa? Lihat produk-produk sekarang, seperti telepon selular. Kalau dulu hanya bisa untuk menelepon, sekarang bisa dipakai untuk mendengarkan radio, nonton TV, akses internet, foto, dan sebagainya. Jadi semakin kompleks. Nah, teknologi akan membantu kita mengatasi kompleksitas, sehingga menjadi lebih mudah dipahami. Semua pada akhirnya bermuara pada tujuan akhir umat manusia, yakni semakin sejahtera, semakin sehat, dan bahagia. (JB Susetiyo, Gilang Suryanata, Lita Gabriela, dan Silvia Desi Betrice, tim PR)