Profil


Tanggal Post: 14 Jun 2021

Abdul Wahid Maktub
Staf Khusus Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (2015-2021)
Duta Besar RI untuk Qatar (2003-2007)
(Bagian ke-1 dari 3 Tulisan)

 

KESUKSESAN SAYA 75% BERKAT DIDIKAN IBU

Usai menuntaskan tugasnya sebagai staf khusus Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Abdul Wahid Maktub mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Ia menjadi penasehat untuk President University (PresUniv). Gus Wahid, begitu ia disapa, melihat pendidikan di Indonesia perlu melakukan lompatan untuk mengejar ketertinggalannya. Itu membuat dirinya merasa perlu terjun di dunia pendidikan. Untuk mengenal lebih jauh sosok Gus Wahid, tim Public Relations menemuinya untuk sebuah wawancara. Petikannya.

 

Boleh cerita sedikit soal masa kecil Anda?

Saya lahir dan besar di Bangkalan, Madura. Saya ini anak yatim. Ayah meninggal ketika saya masih kecil. Jadi, ibu saya menjadi janda dengan anak sepuluh. Saya anak ke-4. Saya beruntung punya ibu pernah ditempa oleh ujian bertubi-tubi, ulet, rajin berdoa. Ia memiliki keyakinan yang luar biasa. Orang boleh tidak punya apa-apa, tetapi selama masih memiliki keyakinan, itu sudah cukup.

Ibu saya setiap hari mengingatkan anak-anaknya untuk rajin belajar. Ia paham pentingnya pendidikan, dan tidak enaknya menjadi orang miskin, bodoh dan tidak berdaya. Ia mengajari kami untuk selalu disiplin. Saya merasakan hasil didikan beliau. Semasa SD dan SMP, saya dan kakak selalu menjadi juara di sekolah.

 

Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain?

Semua anaknya jadi sarjana. Ada lulusan Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, Gadjah Mada, atau IPB. Ibu itu setiap hari, setiap jam 03.00, bangun dan berdoa. Khusyuk sekali. Ibu yakin, kalau kita rajin berdoa, dekat dengan Tuhan, insya Allah doanya akan dikabulkan.

 

Dengan Ibu janda dan sepuluh anak, bagaimana kehidupan keluarga Anda ketika itu?

Betul-betul unbelievable. Saya sejak SMA kelas II sudah mengajar siswa SMP. Kakak saya juga begitu. Dia kuliah sambal mengajar. Jadi, kami semua dididik untuk bisa membiayai kebutuhan sendiri.

 

Boleh cerita sedikit tentang ayah?

Ayah meninggal waktu saya masih kelas V SD. Dia dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Dulu, sebetulnya kakek saya orang kaya. Ada catatan, bahkan mantan Gubernur Jawa Timur punya utang ke kakek saya. Namun, rupanya hidup itu seperti roda yang berputar. Setelah kakek meninggal, semuanya menurun. Ayah dan Ibu sadar bahwa ini adalah ujian. Kami bisa naik lagi asal ulet, sabar, dan terus berjuang. Modalnya, terutama, ilmu. Ibu yakin, kalau ingin sukses ya harus punya ilmu. Maka, ia mati-matian menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung sewaktu kuliah di Jurusan Hubungan International di Universitas Gadjah Mada, saya menjadi mahasiswa terbaik, sehingga mendapat beasiswa. Itu mengubah keadaan.

 

Gus Wahid saat memaparkan materi dalam sebuah seminar di Probolinggo.
Sumber: alfikr.co.

 

Seperti apa situasi paling sulit yang keluarga Anda hadapi saat Ayah sudah tidak ada?

Ekonomi. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, Ibu jualan di pasar. Saya melihat, bagaimana Ibu ditagih, tetapi uang tidak ada karena dipakai untuk membiayai sekolah anaknya. Saya sedih sekali. Tapi, itu menjadi cambuk bagi saya agar jangan menjadi orang miskin. Maka, setelah saya lulus dan bekerja, setiap kali pulang kampung, saya selalu menyisihkan uang untuk Ibu. Oleh Ibu, uang itu kemudian ia bagi-bagikan ke tetangga yang miskin.  

Sewaktu saya sudah bekerja, termasuk kemudian ditunjuk sebagai Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Jeddah, Ibu bangga sekali. Saya ini orang miskin, anak desa, bisa menjadi Konjen—bahkan saya menjadi Konjen termuda. Lalu menjadi Duta Besar (Dubes), juga Dubes termuda se-Indonesia. Sampai sekarang saya masih memegang rekor Konjen dan Dubes termuda. Selama 20 tahun saya menjadi Konjen dan Dubes. Itu semua berkat doa Ibu.

Untuk menyenangkan Ibu, saya ajak dia ke Amerika naik pesawat. First class. Ketika itu saya sampai tidak sempat menabung, karena uang yang saya dapat saya gunakan untuk menyenangkan Ibu. Saya sadar betul bahwa kesuksesan saya 75% berkat didikan Ibu. Saya ingat betul kata-kata Ibu, “Jangan ragu, Nak. Ada Tuhan. Selama kamu benar dan sungguh-sungguh, Tuhan akan memberi apa yang kamu minta, karena Tuhan itu Mahapengasih dan Mahapenyayang.” (JB Susetiyo, Gilang Suryanata, Lita Gabriela, dan Silvia Desi Betrice, tim PR)