Feature


Tanggal Post: 18 Feb 2022

Growing Under Pressure
MENGELOLA TEKANAN PERLU KEYAKINAN

Bagian ke-3 dari 4 tulisan.

Spanyol suatu ketika pernah diperintah oleh Raja Roderick, yang memerintah dengan lalim. Ia membagi penduduk dalam beberapa kasta. Ia mengenakan pajak yang tinggi justru untuk kalangan kasta terendah, seperti para petani, pedagang, kaum miskin, dan buruh, yang hidupnya justru sangat menderita. Siapa berani menentang, nyawa melayang.

Berita kezaliman Raja Roderick sampai ke telinga Musa bin Nusair, pemimpin pasukan Muslim dari Afrika Utara. Musa geram. Untuk menghentikan penindasan tersebut, ia mengutus salah satu panglima perangnya, Thariq bin Ziyad. Maka, Thariq pun berangkat bersama dengan ribuan pasukannya. Mereka berlayar ke Spanyol.

Thariq bin Ziyad

Sesampainya di pantai wilayah Spanyol, Thariq mengumpulkan pasukannya. Berdiri di bukit karang Gibraltar, ia berpidato. Isinya mencengangkan. Thariq meminta pasukannya untuk membakar seluruh kapal, memusnahkan segala isinya. Para prajuritnya tersentak. Kaget. Mereka bertanya-tanya, “Kalau semua kapal dibakar, bagaimana kita bisa pulang kembali ke Afrika Utara?”

              Thariq lantang menjawab, “Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan: menaklukkan Raja Roderick, menaklukkan negeri ini dan tinggal di sini, atau kita semua binasa!” Thariq menempatkan diri dan pasukannya dalam posisi tidak ada pilihan lain. Mundur tidak bisa, jadi hanya ada satu pilihan: maju!

Maka, berjuanglah pasukan itu untuk mengalahkan tentara Raja Roderick. Mereka bertemu dalam suatu ajang yang disebut Pertempuran Guadalete. Selama pertempuran, pasukan Muslim berulang-ulang berseru bahwa mereka datang bukan untuk menjajah, tetapi menghentikan kelaliman Raja Roderick.

Seruan itu terdengar. Sebagian tentara Raja Roderick, yang mengakui bahwa rajanya memang lalim, akhirnya menarik diri dari peperangan. Maka, tentara Raja Roderick pun menjadi kacau balau sampai akhirnya suatu ketika Thariq pun berhasil mendekati Raja Roderick dan membunuhnya. Pertempuran pun berhenti.

Itulah kisah Thariq bin Ziyad yang begitu terkenal dan memotivasi. Kisah itu pula yang diungkit dalam buku Growing Under Pressure dari Iman Permana dan Jazak Yus Afriansyah, tetapi menggunakan nama tokoh yang berbeda. Inspirasinya tetap sama, bagaimana memunculkan tekanan dan mengubahnya menjadi poin of no return dan sekaligus menciptakan mindset positif.

 

Menurut Iman dan Jazak, agar dapat mengelola tekanan, kita sekurang-kurangnya mesti memiliki empat keyakinan (beliefs). Pertama, keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada yang serba kebetulan atau no coincident. Begitu pula dengan tekanan, pasti munculnya juga tidak kebetulan, melainkan ada yang mengatur. Siapa? Sang Maha Pencipta atau Sang Maha Perencana. Keyakinan semacam ini sangat penting. Jika kita menyangkal atau menolak, itu malah bisa memicu lahirnya tekanan baru yang mungkin malah tidak terkendali.

Jika sudah memiliki keyakinan semacam itu, persoalan menjadi semakin mudah, yakni kita tinggal menjalaninya saja kehendak dari Yang Mahakuasa. Namun, tentu kita harus menjalaninya dengan terkelola. Bukan dibiarkan bak air mengalir begitu saja.

Kedua, keyakinan bahwa dalam setiap tekanan ada proses pembelajaran (learning behind every pressure). Dengan berbekal keyakinan bahwa di balik setiap tekanan tidak ada yang kebetulan, kita bisa menggali apa hikmah yang bisa dipetik dari hadirnya tekanan tersebut. Apa proses pembelajaran yang bisa kita petik? Sebab, ketika Tuhan memberikan tekanan, pasti ada kehendak yang ingin disampaikan-Nya. Maka, tugas kita adalah menemukan apa rencana Tuhan tersebut. Dan, kita juga harus yakin bahwa rencana Tuhan adalah yang terindah bagi setiap umat manusia.

Ketiga, keyakinan bahwa betapa pun beratnya tekanan, pilihan yang terbaik adalah menghadapi dan menyelesaikannya. Hanya itu pilihannya. Jadi, penting sekali bagi kita untuk memiliki keyakinan bahwa jangan menghindar atau melarikan diri dari tekanan. Hadapi, dan selesaikan. Sebab, jika tidak, kita tak pernah tahu apakah masalah tersebut akan muncul kembali kelak di kemudian hari. Dan, kita juga tidak pernah tahu apakah kelak masalahnya menjadi semakin ringan atau justru bertambah berat. Jadi, hadapi dan selesaikan.

Keempat, keyakinan bahwa bahagia itu tanpa syarat. Masih banyak orang yang menetapkan beberapa syarat untuk bisa bahagia. Misalnya, mereka baru bisa bahagia kalau sudah punya deposito Rp100 miliar, rumah yang lapang dan berada kawasan elit, setiap tahun bisa ganti mobil baru, setiap akhir tahun selalu berlibur ke luar negeri, dan beberapa persyaratan lainnya. Mereka yang menetapkan syarat seperti ini mungkin seumur hidupnya akan sulit untuk bahagia. Mengapa? Sebab tidak mudah untuk memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan tersebut. Alhasil, seumur hidupnya mereka malah akan merasa tertekan.

Maka, kita perlu menanamkan keyakinan bahwa bahagia itu sejatinya tidak memerlukan persyaratan apa-apa. Bahagia itu soal pilihan, bukan soal persyaratan. Jadi, Anda mau pilih bahagia atau terus hidup dalam tekanan? (JB Susetiyo, tim PR. Ilustrasi dan foto: biografiku.com, amazon.com, bbs.binus.ac.id.)