Feature


Tanggal Post: 25 Okt 2021

Cara lain dari parenting adalah mendorong anak-cucu untuk tidak langsung menduduki posisi pimpinan di perusahaan keluarga, tetapi memulainya dari bawah. Bahkan tidak sedikit pendiri yang justru mendorong anak atau cucunya untuk bekerja sebagai profesional di luar perusahaan keluarga terlebih dahulu. Setelah memperoleh pengalaman dan apresiasi dari luar, baru mereka diajak bergabung dalam perusahaan keluarga.

Ada fakta lain yang menjadi catatan Hadi Cahyadi dan menjadi bagian dari proses parenting, yakni para pendiri family business ini menunjukkan bahwa mereka justru lebih rajin bekerja dibandingkan dengan yang lain. Mereka bangun lebih pagi, masuk kantor lebih awal, bekerja sampai 16 jam, dan beberapa lainnya. Ini membuat banyak founder yang menjadi idola baik di dalam keluarga maupun perusahaannya.

Ada juga para pendiri yang mendorong anak-cucunya untuk memulai bisnis sendiri terlebih dahulu. Pada masa inilah anak-cucu dari perusahaan keluarga belajar tentang entrepreneurship. Belajar bagaimana berhadapan dengan tantangan dan risiko. Lalu, yang paling penting adalah membuat mereka menjadi tidak takut gagal.

Pada beberapa perusahaan keluarga, pengalaman gagal itu penting. “Bahkan bagi mereka kegagalan itu sebuah kemewahan,” ungkap Hadi. Mengapa? Sebab lewat kegagalan tersebut, anak dan cucu akan belajar bagaimana mereka mesti bersikap rendah hati dan selalu mempersiapkan diri sebelum memulai segala sesuatunya. Kata Hadi, “Jadi bagi para pendiri, mereka sangat toleran terhadap kegagalan. Sebab mereka paham bahwa ini akan menjadi pembelajaran yang penting bagi anak cucu.” Lalu, lewat kegagalan tersebut, para pendiri perusahaan keluarga juga akan melihat bagaimana kemampuan sang anak atau cucu untuk bisa bangkit kembali. “Ini justru yang paling penting,” tegas Hadi.

Harmonizing to Prosper. Pada generasi kedua atau ketiga, harmoni dalam perusahaan keluarga menjadi sangat penting. Kohesi sangat dijaga melalui introspeksi diri dan kesadaran yang utuh bahwa perusahaan keluarga adalah kendaraan untuk mencapai kesejahteraan dalam keluarga. Kohesi semacam ini penting dijaga, karena orang-orang yang terlibat dalam perusahaan keluarga semakin lama semakin bertambah. Bukan hanya anak dan menantu, tetapi juga cucu, saudara-saudara sepupu, keponakan dan masih banyak lagi lainnya. Maka, menjaga harmoni dalam keluarga menjadi sangat penting.

Dalam konteks itu Hadi Cahyadi juga menemukan bahwa di belakang layar family business, ternyata ibu dan nenek memainkan peran yang sangat penting. “Ibu dan nenek ternyata pembisik yang paling hebat,” ungkap Hadi. Peran mereka, antara lain, menjaga nilai-nilai dalam keluarga, menjadi penasehat untuk suami, dan sekaligus penjaga keutuhan keluarga. 

Jadi, kata Hadi, nenek atau ibu berperan sebagai “perekat”. Dalam menjalankan perannya tersebut, sang nenek atau ibu biasanya merancang berbagai macam kegiatan. Misalnya, nenek selalu mengajak anak-anak dan cucu-cucunya untuk makan bersama. Atau, nenek meminta seluruh keluarga untuk secara reguler berwisata bersama. Bisa setiap tahun. “Jadi, dalam bisnis keluarga yang sudah menjadi sangat besar, nenek atau ibu berperan penting dalam menjaga harmoni,” tegas Hadi.

Namun, itu semua belum cukup. Kalau bisnis keluarga sudah semakin besar, untuk memelihara harmoni, dalam perusahaan keluarga perlu ada semacam “konstitusi”. Apa saja isi konstitusi dalam bisnis keluarga? 

Ada beberapa. Misalnya, aturan tentang batas remunerasi bagi anggota keluarga yang terlibat dalam bisnis perusahaan. Atau, bisa juga family conduct. Lalu, aturan tentang siapa saja anggota yang boleh masuk ke dalam bisnis keluarga, dan siapa yang tidak. Misalnya, apakah menantu boleh ikut mengelola bisnis keluarga, atau tidak? Itulah beberapa contoh konstitusi dalam perusahaan keluarga. Sayangnya, Hadi mencatat, masih belum banyak perusahaan keluarga di Indonesia, termasuk yang bisnisnya sudah semakin membesar, yang punya konstitusi. Padahal, konstitusi berperan kunci dalam bisnis keluarga. Dengan adanya konstitusi, setiap anggota keluarga jadi tahu batas-batas, hak-hak dan kewajibannya.

Salah satu klausul penting yang perlu diatur dalam konstitusi adalah soal struktur yang terdesentralisasi. Maksudnya, ada saja anggota keluarga, entah itu anak, cucu, menantu, keponakan, saudara sepupu, dan anggota keluarganya lainnya, yang tak bisa selamanya bersatu dalam bisnis keluarga. Kondisi semacam ini sangat alamiah. Maka, perlu disepakati dalam konstitusi bahwa anggota-anggota keluarga yang tak bisa disatukan ini harus diberi kesempatan untuk memisahkan diri dan mengelola bisnis sendiri. Di dalamnya mungkin perlu diatur agar bisnis-bisnis yang mereka dirikan jangan menjadi kompetitor dari bisnis yang dikelola oleh perusahaan keluarga.

Collaborating to Endure. Perusahaan keluarga juga perlu menyadari bahwa tak selamanya mereka tak bisa bekerja sendiri. Apalagi di era disrupsi seperti sekarang ini. Maka, kolaborasi sangat penting. Namun, menurut Hadi, masih banyak perusahaan keluarga di dunia ini yang sulit percaya kepada yang bukan perusahaan keluarga. Mereka sulit menerima kehadiran “orang asing”. Hanya di Indonesia, sejauh yang Hadi amati, terjadi pengecualian. “Banyak perusahaan keluarga di Indonesia yang percaya terhadap mereka yang bukan anggota keluarga. Mereka ini bekerja sebagai profesional. Maka, tak heran kalau ada di perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia yang eksekutif profesional bertahan bekerja sampai puluhan tahun, dan bahkan seumur hidup (work for life). Contohnya Dr. Antonius Tanan, yang bekerja di Grup Ciputra sampai lebih dari 30 tahun. “Mereka mau bekerja di perusahaan keluarga sampai pensiun. Bahkan ada anggapan bahwa non family business yang bekerja profesional, dengan kemampuan profesionalnya, malah berperan untuk menjadi pengawal yang membuat bisnis perusahaan terus berkesinambungan,” ungkap Hadi.

Para profesional tersebut, lanjut Hadi, bahkan ikut berperan dalam membangun budaya perusahaan, mencari peluang-peluang bisnis baru dan mengeksekusinya sampai menjadi bisnis, membawa perusahaan go public dan sebagainya. Mereka ini bukan hanya bekerja sebagai profesional, tetapi juga ikut meninggalkan legacy bagi bisnis keluarga. Dan, fenomena itu terjadi di Indonesia. (JB Susetiyo, tim PR. Ilustrasi: www.dreamstime.com)