Feature


Tanggal Post: 23 Okt 2021

Ungkapan tentang kutukan generasi ketiga tidak hanya ada China, tetapi juga di berbagai negara lainnya. Di AS, misalnya, ada ungkapan from shirtsleeves to shirtsleeves in three generations. Di Inggris, ungkapannya clogs to clogs is only three generations, sementara di Jepang bunyinya rice paddies to rice paddies in three generations. Maknanya kurang lebih sama, yakni dari kuli kembali ke kuli, dari bakiak kembali ke bakiak, atau dari bermula dari petani kembali menjadi petani. Semua terjadi di generasi ketiga.

Bagaimana potretnya di Indonesia? Nyaris sama. Menurut laporan Deloitte tahun 2019, hanya 13% perusahaan keluarga yang mampu bertahan sampai dengan generasi ketiga. Lalu, apa yang perlu dilakukan agar perusahaan-perusahaan keluarga mampu keluar dari kutukan generasi ketiga? Pertanyaan itu menggelitik Hadi Cahyadi. Maka, ia pun melakukan riset yang melibatkan sejumlah family business dengan kriteria: sudah berbisnis lebih dari tiga dekade, sudah melibatkan generasi ketiga, kinerjanya stabil, berhasil melewati dua krisis (krisis ekonomi 1998 dan tahun 2008), dan memiliki kekayaan bersih lebih dari US$1 miliar.

Dari riset tersebut, Hadi mendapatkan formula yang disingkatnya PHC, yakni Parenting to Equip, Harmonize to Prosper dan Collaborating to Endure.

Mari kita urai satu per satu.

Parenting to Equip. Ada beberapa. Misalnya, orang tua perlu mendidik anak-anak yang akan menjadi penerus dengan nilai-nilai kebajikan, seperti cinta kasih, sikap yang lemah lembut, menghargai kesetiaan, keberanian, sikap hemat dan jangan berfoya-foya. Orang tua juga perlu bersikap sebagai “gembala” bagi anak-anaknya. Ini berlaku baik di rumah maupun di kantor. “Bahkan, sikap sebagai gembala ini perlu muncul sejak anak-anak masih dalam kandungan. Bentuknya, misalnya dengan memberi nutrisi yang baik agar anak-anaknya kelak tumbuh dengan sehat dan pintar,” papar Hadi.

Berikutnya, anak-anak juga perlu dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan. Hadi menjelaskan, “Sekarang ini semua yang ada di dunia sangat mudah terdisrupsi. Banyak faktor yang membuat perusahaan terdisrupsi. Misalnya, perkembangan teknologi, persaingan bisnis, perubahan peraturan pemerintah, atau pergantian pemerintahan. Bahkan, pandemi Covid-19 pun bisa membuat perusahaan keluarga terdisrupsi,” ungkap Hadi. Maka, orang tua perlu mendidik anak-anaknya agar selalu siap menghadapi disrupsi.” Bagaimana caranya? Ajak anak-anak untuk terlibat dalam bisnis sedini mungkin. Libatkan mereka dalam rapat-rapat perusahaan, bertemu customer, perkenalkan dengan network orang tuanya. Lalu, “suntik” anak-anak dengan promethean drives, yakni menggelorakan minat mereka dalam berbisnis, termasuk keinginan untuk sukses. Ini disesuaikan dengan talent dan passion-nya. Itu bisa dilakukan, antara lain, dengan menyekolahkan anak-anak ke lembaga-lembaga pendidikan terbaik.

Senada dengan Hadi, Antonius Tanan yang Komisaris di PT Ciputra Development Tbk. menekankan betul pentingnya orang tua dalam bisnis keluarga untuk menjadi guru yang pertama, utama dan paling lama bagi anak-anaknya. “Orang tua itu mempunyai banyak pengetahuan. Inilah harus dia transfer kepada anak-anaknya. Itu sebabnya orang tua perlu menjadi guru yang pertama, utama dan sekaligus yang paling lama,” ucap Tanan.

Antonius Tanan
Sumber: PT Ciputra Development Tbk.

 

Pengetahuan yang dimiliki orang tua ada yang bersifat eksplisit, tapi ada juga yang tacit. Apa bedanya. Pengetahuan yang bersifat eksplisit sudah tercatat dan didokumentasikan entah dalam bentuk teks, gambar, suara atau video. Sementara, pengetahuan yang bersifat tacit belum terstruktur, belum tercatat atau didokumentasikan. Pengetahuan ini biasanya hanya dimiliki oleh mereka yang mengalaminya. Apa misalnya? Tanan lalu bercerita tentang pengalamannya selama 31 tahun mendampingi taipan properti Indonesia, Ciputra (alm.). “Saya itu kalau melihat tanah, cukup dicium-cium saja baunya saya bakal tahu apakah kawasan itu kalau dikembangkan bakal berhasil atau tidak,” tutur Tanan, menirukan ucapan Ciputra. Pengetahuan yang dimiliki Ciputra tersebut, tegas Tanan, bersifat tacit. Pengetahuan tersebut dimiliki oleh Ciputra berkat pengalamannya yang sangat panjang di industri properti.

Lalu, bagaimana kemampuan orang tua yang bersifat tacit seperti itu diajarkan kepada anak-anaknya? Tanan, yang juga menjadi Komisaris Independen PT Metrodata Electronics Tbk., ini  kemudian mengutip konsep yang dikembangkan Ikujiro Nonaka, seorang profesor di Graduate School of International Corporate Strategy, Hitotsubashi University, dan dilengkapi oleh Hirotaka Takeuchi, profesor di Harvard Business School. Konsep keduanya dikenal dengan istilah SECI yang merupakan singkatan dari Socialization, Externalization, Combination, dan Internalization.

Socialization atau Tacit to Tacit. Pada tahap ini orang tua bekerja bersama anak-anaknya baik di perusahaan atau saat mengerjakan proyek-proyek tertentu. Anak-anak bisa mengamati cara kerja orang tuanya, meniru dan menerapkannya di lapangan. Di sini orang tua menjelaskan secara detail kepada anak-anaknya tentang berbagai proses yang terkait dengan pekerjaan di perusahaan atau proyek di lapangan, termasuk hal-hal yang bersifat tacit. Jangan bayangkan bentuk sosialisasi di sini seperti orang tua menjelaskan dalam kelas. Bukan itu. Sosialisasi biasanya dilakukan dalam bentuk diskusi atau orang tua menceritakan pengalamannya kepada anak-anaknya.

Eksternalization atau Tacit to Explicit. Ini tahap yang penting, yakni mengubah pengetahuan yang bersifat tacit menjadi eksplisit. Jadi, semua penjelasan dari orang tua kepada anak-anaknya yang bersifat tacit tadi harus kemudian didokumentasikan. Bentuknya bisa tulisan, gambar, rekaman suara atau video, dan sebagainya.

Contohnya, papar Tanan, pengalaman panjang Ciputra dalam bisnis properti itu kemudian didokumentasikan dan dikristalisasikan menjadi tiga butir tata nilai utama di Grup Ciputra, yakni Integritas, Profesionalisme dan Entrepreneurship. Tiga tata nilai utama inilah yang kemudian menjadi panduan bagi anak-anak, para cucu dan segenap jajaran di Grup Ciputra dalam menjalankan bisnisnya.

Apa pengertian dari masing-masing nilai tersebut? Tanan memaparkan panjang lebar. Integritas itu satunya kata dengan perbuatan. “Dengan memegang teguh integritas, perusahaan akan dihormati dan dipercaya baik oleh customer maupun masyarakat,” papar Tanan. Lalu, lanjut Tanan, profesionalisme itu akan membuat perusahaan menjadi unggul dan dapat diandalkan. Kata Tanan, “Profesionalisme sangat dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan pada masa kini.” Lalu, bagaimana dengan masa depan perusahaan? Ucapnya, “Di sinilah perlunya kita dan perusahaan memiliki jiwa entrepreneurship. Jiwa ini akan membuat perusahaan selalu inovatif, sehingga mampu membangun bisnis yang berkelanjutan. Jadi, tegas Tanan, entrepreneurship dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan masa depan. 

Combination atau Explicit to Explicit. Hasil konversi dari pengetahuan yang bersifat tacit menjadi eksplisit tadi kemudian disebarluaskan ke seluruh jajaran perusahaan. Penyebarluasan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, lewat selebaran atau berbagai dokumen tertulis, rekaman suara atau video, lewat berbagai event knowledge sharing di lingkungan perusahaan, atau melalui portal knowledge management.

Internalization atau Explicit to Tacit. Hasil konversi dari tacit menjadi eksplisit tadi masih berupa pengetahuan, belum tertanam dalam pikiran dan menjadi bagian dari sistem di perusahaan atau menjadi tacit. Untuk itu dibutuhkan proses internalisasi baik kepada anak-anaknya dan seluruh jajaran perusahaan. Proses internalisasi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya dengan membiarkan anak-anak dan jajaran perusahaan mengalaminya secara langsung. (JB Susetiyo, tim PR. Ilustrasi dan foto: http://business.rssfeeds.pw/ dan www.ciputradevelopment.com).