Published: 15 Oct 2020

After reviewing the relationship between humans and climate change, the second day of EnvironmenTalk 2020 discussed the energy sector and its strategy in tackling climate change. With the theme "Energy Strategy While Facing Climate Change", this webinar presented two speakers who are experts in the energy sector, namely Khoiria Oktaviani, Communication Manager of the Ministry of Energy and Mineral Resources of the Republic of Indonesia, and Erina Mursanti, Program Manager of the Green Economy at Institute for Essential Services Reform (IESR).

First of all, Khoiria Oktaviani gave her views on the journey of energy transformation from the inception of the Kyoto Protocol, the international commitment about climate change. Furthermore, she elaborated on the Indonesian government's energy policy in response to this issue, which is the national commitment to achieve the Paris Agreement targets. In other words, the government must reduce emissions from the energy used by Indonesia, to participate in keeping global temperatures below 2° C, and even strive for it to be 1.5° C.

According to Khoiria, the condition of energy consumption in Indonesia cannot be categorized as good. This is because most energy consumption in Indonesia are oil and coal. From the data presented, the consumption of petroleum is even greater than its production. "This condition is not environmentally friendly because excessive consumption of fossil fuels will release carbon dioxide and other greenhouse gases into the atmosphere," she said. Therefore, the government considers that it is necessary to do the transition of energy, from fossil fuels to environmentally friendly energy. The Ministry of Energy and Mineral Resources has pursued the potential for new and renewable energy, including utilizing geothermal, water, bioenergy, solar, and wind as a solution in meeting the targets of the Paris Agreement while also addressing the problem of climate change.

In the second session, Erina Mursanti outlined the Green Economy strategy as an alternative to address this phenomenon. She explained that Green Economy has the same concept as the new and renewable energy, but what distinguishes it is the economic element in it. In outline, Green Economy is a strategy to balance economic growth with environmental protection. This is because the relationship between economic growth and environmental health is often incompatible. For example, economic growth has increased with industrialization, but the quality of the environment has decreased due to emissions released from energy consumption by industries. Therefore, the IESR recommends this green economy so that Indonesia can shift its economic system from an economy based on fossil materials to an economy based on renewable energy. (PT/SD)

 

 

 

EnvironmenTalk 2020 Hari Kedua: Strategi Energi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Setelah membahas hubungan antara manusia dan perubahan iklim, EnvironmenTalk 2020 hari kedua lalu mengulas tentang sektor energi dan strateginya dalam menanggulangi perubahan iklim. Dengan membawakan tema “Energy Strategy While Facing Climate Change”, webinar ini menghadirkan dua pembicara yang ahli dalam sektor energi, yaitu Khoiria Oktaviani, Manajer Komunikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, dan Erina Mursanti, Program Manajer Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Pertama-tama, Khoiria Oktaviani memberikan pandangannya akan perjalanan transformasi energi dari awal terbentuknya Protokol Kyoto, komitmen international mengenai perubahan iklim. Selanjutnya, Ia menjabarkan kebijakan energi pemerintah Indonesia dalam menanggapi isu ini, yakni komitmen nasional untuk mencapai target Persetujuan Paris. Dengan kata lain, pemerintah harus mengurangi emisi dari energi yang digunakan Indonesia, guna berpartisipasi menjaga suhu global dibawah 2°C dan bahkan mengupayakannya menjadi 1,5°C. 

Menurut Khoiria, kondisi konsumsi energi di Indonesia tidak dapat dikategorikan baik. Hal ini karena konsumsi energi yang paling banyak di Indonesia adalah minyak bumi dan batubara. Dari data yang disampaikan, konsumsi minyak bumi bahkan lebih besar daripada produksinya. “Kondisi ini tidak ramah lingkungan karena konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan akan melepaskan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer,” ujarnya. Maka dari itu, pemerintah meninjau bahwa diperlukannya transisi energi, dari bahan bakar fosil, menjadi energi yang ramah lingkungan. Kementerian ESDM telah mengupayakan potensi Energi Baru yang Terbarukan (EBT), termasuk memanfaatkan panas bumi, air, bioenergi, solar, dan angin sebagai solusi dalam memenuhi target Persetujuan Paris sekaligus mengatasi masalah perubahan iklim.

Di sesi kedua, Erina Mursanti menguraikan strategi Ekonomi Hijau sebagai alternatif untuk mengatasi fenomena ini. Ia menjelaskan, Ekonomi Hijau memiliki konsep yang sama dengan Energi Baru yang Terbarukan (EBT), namun yang membedakan adalah unsur ekonomi yang ada didalamnya. Secara garis besar, Ekonomi Hijau adalah strategi dalam usaha menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan proteksi lingkungan. Sebab, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesehatan lingkungan seringkali tidak searah. Contohnya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan industrialisasi namun kualitas lingkungan menurun akibat emisi yang dikeluarkan dari pemakaian energi oleh industri. Maka dari itu, IESR merekomendasikan perekonomian hijau ini agar Indonesia bisa beralih sistem perekonomiannya dari perekonomian yang berbasis bahan fosil ke sistem perekonomian yang berbasis energi terbarukan. (PT/SD)