Published: 26 Jun 2020

There is an underlying reason why the term "Unity in Diversity" and Pancasila as the ideology of the state continue to be echoed and held firmly as a way of life for Indonesian people. Unite in differences is not an easy thing to do, but it is not an impossible thing to do.

Cultural diversity, ethnicity, race, and religion are a part of identity as well as the beauty and wealth of Indonesia. In this case, the media plays a huge role in introducing and raising awareness of the importance of practicing high tolerance towards diversity.

Aware of the importance of the issue of diversity in Indonesia, the President University Communication Study Program held an online seminar with the theme, "Harmony in Diversity" (19/6). The seminar invited guest speakers from inside and outside the country to discuss how the media played an important role in the movement to fight for social justice in many countries.

Alexander Matius, a Film Programmer in Kinosaurus, discusses how Indonesian films represent races in Indonesia, especially in Papua. Indonesian films such as "Looking for Madonna" (2005), "Flight 555", "Denias" and many more represent Papua from various aspects and form community stereotypes about Papua.

Besides Alexander, Leonard Cortana, a member of the Harvard University Berkman Klein Center, discussed the "Transnational Movement", a movement with the aim of social and political change carried out by people in several countries. One example is the "Black Lives Matter" movement which is currently a hot issue in various countries. "Seeing how it was many years ago until now the same movement as the Black Lives Matter is still being carried out, we come to know that social justice has not yet materialized and still needs to be fought for," he added.

In terms of journalism, M. Raudy Gathmyr, S.Sos., M.Si., Islamic and media researcher as well as the Head of Communication Study Program at President University explained the media and Islamophobia which become one of the most cases happened in Indonesia. "Some coverage from the Indonesian mainstream media on the radicalization issues of the younger generation of Islam has produced an Islamophobic discourse," Raudy said. Raudy defines Islamophobia as fear of Islam and the Muslim community of fellow Muslim communities themselves.

Lastly, Christy Raina, social media activist #TeamSawoMatang as well as an alumnus of the Communication Study Program at President University discussed the beauty standards in Indonesia. She emphasized that beauty is not determined by certain skin color but rather how we respect ourselves and others.

This online seminar was attended by participants from various professions, ranging from students to practitioners in various fields. Communication Study Program at President University hopes this online seminar will bring more people to uphold the tolerance between humans as Indonesian citizens. (ZA/SL)

 


 

“Harmony in Diversity”, Webinar oleh Prodi Ilmu Komunikasi untuk Promosikan Toleransi melalui Media

 

Bukan tanpa alasan istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dan Pancasila sebagai ideologi negara terus digaungkan dan dipegang kuat sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia. Bersatu dalam perbedaan yang beragam bukanlah hal yang mudah, namun juga tidak mustahil untuk dilakukan.

Keberagaman budaya, suku, ras, dan agama adalah bagian dari jati diri sekaligus keindahan dan kekayaan yang dimiliki Indonesia. Dalam hal ini, media memiliki peranan yang besar dalam memperkenalkan maupun meningkatkan kesadaran akan pentingnya memiliki sikap toleransi terhadap keberagaman yang ada. 

Sadar akan pentingnya isu mengenai keberagaman di Indonesia, Prodi Ilmu Komunikasi President University menyelenggarakan seminar online dengan tema, “Harmony in Diversity” (19/6). Seminar yang menghadirkan pembicara tamu dari dalam dan luar negeri ini mendiskusikan bagaimana media berperan dalam gerakan memperjuangkan keadilan sosial di berbagai negara.

Alexander Matius, Film Programmer di Kinosaurus, membahas tentang bagaimana film-film Indonesia merepresentasikan ras yang ada di Indonesia khususnya di Papua. Film-film Indonesia seperti “Mencari Madonna” (2005), “Flight 555”, “Denias” dan masih banyak lagi merepresentasikan Papua dari berbagai macam aspek dan membentuk stereotype masyarakat mengenai Papua.

Selain Alexander, Leonard Cortana, anggota Berkman Klein Center Harvard University, membahas mengenai "Transnational Movement", sebuah gerakan dengan tujuan perubahan sosial dan politik yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa negara. Salah satu contohnya adalah gerakan “Black Lives Matter” yang saat ini tengah menjadi isu hangat di berbagai negara. "Melihat bagaimana bertahun-tahun yang lalu hingga kini gerakan yang sama seperti Black Lives Matter masih dilakukan, kita jadi tahu bahwa keadilan sosial belum terwujud dan masih perlu untuk diperjuangkan,” ujarnya.

Dari sisi jurnalistik, M. Raudy Gathmyr, S.Sos., M.Si., peneliti Islam dan media sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi President University menjelaskan tentang media dan Islamophobia yang menjadi salah satu kasus di Indonesia. “Beberapa liputan dari media mainstream Indonesia terhadap isu-isu radikalisasi generasi muda Islam menghasilkan wacana Islamofobia,” ujar Raudy. Ia mendefinisikan Islamofobia sebagai rasa takut terhadap Islam dan masyarakat Muslim dari sesama masyarakat Muslim sendiri. 

Tak kalah menarik, Christy Raina, aktivis media sosial #TeamSawoMatang sekaligus alumni Prodi Ilmu Komunikasi President University angkatan 2016, membahas tentang standar kecantikan yang ada di Indonesia. Ia terus menekankan bahwa kecantikan tidak ditentukan oleh warna kulit tertentu melainkan bagaimana kita menghargai diri kita sendiri dan orang lain.

Seminar online ini dihadiri oleh para peserta dari berbagai macam profesi, mulai dari mahasiswa hingga praktisi di berbagai bidang. Prodi Ilmu Komunikasi berharap, dengan diselenggarakannya seminar online ini akan ada lebih banyak orang yang menjunjung tinggi sikap toleransi antar manusia sebagai warga negara Indonesia. (ZA/SL)